Cerpen Merajut Kebahagiaan karya Septia Indah Pratiwi

Septia Indah Pratiwi

Merajut Kebahagiaan Sederhana

Di tempat makan yang terletak pesimpangan biasa orang menyebutnya Mcd. Malam itu aku bertemu dengan kekasihku. Langit indah terlihat bintang memancarkan keindahannya.
“Kamu mau pesan apa, sayang?” kata kekasihku.
“Aku paket 1 aja.”jawabku
Membawa makanan yang sudah kami pesan, kami mencari tempat di pojok dekat mainan anak-anak, aku dan kekasihku pun duduk disana. Menikmati makanan yang telah kami pesan dengan gurihnya ayam dan indahnya malam itu.
Sejanak, lelaki itu terdiam memandangku penuh tanda tanya. Berharap kata manis yang terucap darinya, agar malam itu seindah malam yang aku harapkan.
Pandangan wajah yang tidak dapat ku percaya apa yang dikatakan lelaki itu kepada wanita kekasihnya. Padahal dia mengatakan yang sejujurnya mungkin dengan banyak pertimbangan waktu selama ini. Berat memang rasanya, tapi dia tidak dapat menolak. Wanita itu harus menerima apa yang dikatakan  lelaki kekasihnya.
Memandang wanita dengan keseriusan tanpa terpengaruh orang lain melintas
“Maafkan aku sayang, tapi kita sudah tidak bisa bersama seperti ini lagi. Aku ingin kita menjalani hidup kita sendiri. Aku ingin pergi meninggalkanmu, tanpa ada komunikasi lagi. Hubungan kakak-adik lebih baik buat kita. Terpaksa aku harus mengatakannya kepadamu, demi baktiku kepada orang tuaku. Orang tuaku tidak setuju jika aku masih denganmu. Mungkin kau dapat mencari yang lebih baik dariku. Maafkan aku jika aku selama ini banyak salah denganmu. Aku yakin suatu saat kau menemukan lelaki yang lebih baik dariku. Maafkan aku sayang.”
Setelah mendengar wanita itu sekejap meneteskan air mata membasahi pipi hingga dagu. Tidak ada nafsu makan lagi untuk menyentuh makanan itu.
“Aku masih menyayangimu. Tidak pernah terlontar dipikiranku kau mengucapkan ini padaku. Sekian lama ku habiskan waktuku denganmu namun, kenapa baru terlontar kata sepahit itu. Apakah tidak kita perjuangkan cinta kita dengan meminta restu orang tuamu?”
Menundukkan kepala lalu memandang kembali wanita dengan memanggil namanya. Lelaki itu pun menyakinkan dan menegaskan ucapannya.
“Tiara, maafkan aku. Maafkan aku. Aku bulat dengan keputusan.”
“Baiklah, jika keputasan bulat membawa kita berpisah, candra!” kata tiara sambil berdiri perlahan meninggalkan tempat duduknya.
Sampai di rumah Tiara masuk kamar menutup pintu. Tidak dapat menahan kesedihannya harapan penuh ilusi hanya air mata bersama luka yang diterima malam itu. Hanya air mata mungkin yang saat itu pengobat rasa luka hingga dia tertidur.
Senja berubah terang panas menyengat pagi. Rasa luka malam kemaren masih terbebani hati Tiara. Namun, tiara tetap harus menjalani hari-hari tanpa air mata. Saat bangun, tiara meraba sebelah kanan-kiri bantal mencari handphone. Pesan, chat, telfon darinya pun tidak ada. Tiara sadar kejadian semalam benar adanya. Mencari kontak handphone dengan nama yana dia temukan. Pesan lewat whatshapp dia kirimkan.
“Pagi yana ..!
“Pagi juga tiara, wah pagi-pagi sekali kau membangunkanku ini kan hari minggu biasanya paling enak nih molor.” Balas pesan yana
“Kangen jalan nih,sekalian curhat, nanti malam ada waktu nggak?
“Oke, nanti malam aku free!
“Aku jemput jam 19.00.”
“Siap!”
Hari itu sangat terang tapi tidak seterang hati tiara. Hanya angan semu peuh ilusi penutup kisah. Berharap air membeku berubah salju., tapi kini air pergi bersama derasnya hujan. Terang pun berganti senja.
Tiara bersiap berdandan cantik. Menghias mahkota dengan hijab berwarna biru dongker, berbaju merah, dan bercelana kulot biru dongker Tiara terlihat menawan. Tidak lupa tas kecil selempang biru miliknya diselempangkan ke bahu. Menuju jalan Manukan Thorin memakai motor mio putih yang tidak jauh dari rumahnya. Perjalanan 10 menit cukup ditempuh sampai di rumah Yana. Yana pun sudah tampak rapi. Tanpa sengaja Yana memakai jilbab yang sama berwarna biru tua.
“Loh kok sama sih!” teriak Tiara.
“Ah iya, kita sehati.. hehehe.”
“Ayo jalan!”
“Ayo!” berjalan naik motor digonceng Tiara.
Selama perjalanan ditempuh, mereka saling ngobrol tidak lupa membahas mereka akan pergi kemana. Malam itu cukup terang karena hujan bersahabat untuk tidak membasahi waktu.
“Kita mau kemana, Tiara?’
“Ke Bungkul aja.”
Tiba di bungkul, keramaian banyak pemuda-pemudi yang berkunjung membuat Tiara lupa akan kesedihannya. Kesunyian dihatinya terlupakan berganti senyum. Melihat banyak pedangang dan mendengarkan alunan lagu pengamen keliling cukup menenangkan hati. Namun, seketika Yana memandang Tiara mengingatkan tujuan awal.
“Kamu mau curhat apa, Tiara?”
“Sebenarnya, aku sudah tidak ingin membahas ini karena membuatku terluka. Aku putus dengan pacarku kemaren. Kamu kan tau bagaimana kisah cintaku sudah lama menjalin dengannya. Kini dia memutuskan hubungan kita karena ketidaksetujuan orang tuanya.”
“Sudahlah Tiara, jangan terlarut dengan kesedihan masih banyak lelaki disana yang menunggumu. Lelaki yang terbaik adalah lelaki yang mempertahankan cintanya.”
“Tapi aku masih menyayanginya. Yana.”
“Lupakan lelaki itu. Eh aku janjian sama temenku nih! Bolehkah ketemuan sekalian disini?”
“Boleh aja!”
Berjalan dari sudut arah air mancur berjalan dua orang lelaki. Yana menunjuk ke arah tersebut dan menyebut itu temannya. Yang satu berperawakan tinggi kurus, berambut lurus, berjaket, dan bercelana panjang adalah teman Yana. Yang satu berperawakan tinggi sedikit berisi, berambut ikal, berkaos, dan bercelana pendek adalah lelaki yang bersama teman Yana.
“Hai, aku Irfan.” Kata lelaki berperawakan tinggi, kurus, dan berambut lurus itu.
“Hai, aku Prima.” Kata lelaki berperawakan tinggi sedikit berisi, dan berambut ikal.
Terlontar sepintas pada mulut kami.
“Hai, aku Yana.”
“Aku Tiara.”
Kami pun asyik ngobrol banyak hal. Menghabiskan malam senin menghapus kesunyian. Irfan dan Prima bercerita mengapa dia tinggal di Surabaya. Mereka berasal dari Banjarmasin yang sudah 1 tahun tinggal di Surabaya. Alasan mereka tinggal di Surabaya karena mutasi dari perusahaan. Hingga jarum menujukkan jam 21.00. Obrolan kami pun berhenti dan bergegas meninggalkan tempat nongkrong. Tiara dan Yana pulang bersama bergoncengan. Tiara dan Yana pulang ke rumah masing-masing. Tiara pun mengantar Yana pulang ke rumah terlebih dahulu. Diikuti Irfan dan Prima mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Arah yang sama mereka pulang ke rumah masing-masing dengan dua motor saling berbocengan.
Pagi datang bersama terangnya matahari. Seperti biasa Tiara bangun dengan meraba handphonenya dan melihat apakah ada pesan untuknya? Melotot sedikit tidak sadar mengusap-usap matanya Tiara menerima pesan baru dengan nomor baru. Tiara bertanya-tanya dalam hati siapa orang yang mengirim pesan ini.
“Assalamualaikum, selamat pagi cantik!”
“Walaikumsalam, selamat pagi juga! Siapa kamu?”
“Aku lelaki yang memperkenalkan diri kemaren, masih ingatkah kau?”
Dalam hati Tiara berpikir dan berbisik.
“Apakah lelaki ini Prima! Mengapa dia meminta nomorku? Baru semalam kenal sekarang sudah ingin dekat. Baik nggak ya dia?”
Beberapa menit Tiara tidak membalas pesan. Prima mengirimkan pesannya kembali.
“Aku hanya ingin berteman aja sama kamu, karena aku kan baru di Surabaya.”
“Oke, aku mau berteman denganmu.”
“Nanti malam kamu ada acara nggak?”
“Nggak, mengapa?”
“Jalan yuk! Aku ingin lebih tau tempat-tempat di Surabaya.”
“Oke, jam 19.00 aku tunggu di rumah.”
Senja telah muncul pagi yang terang berubah gelap. Jarum jam menunjukkan 19.00. Suara motor dekat sekali dengan rumah semakin keras didengar. Berpenampilan rapi berkaos, bercelana panjang, berambut cepak, dan beraroma harum lelaki itu mengetuk pintu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Dalam hati Tiara berbisik penampilan Prima berubah dia lebih kelihatan rapi dan menawan.
“Jalan kemana kita?”
“Kamu suka bakso nggak?”
“Iya, aku suka.”
“Kita makan bakso di Bang Gendut Manukan dekat sini aja. Baksonya lumayan enak kok!”
“Okelah!”
Sampai di Bang Gendut kami memesan Bakso kikil 2 mangkok dan es jeruk 2 gelas. Kami menikmati bakso yang sudah kami pesan. Dalam selah waktu kami asyik ngobrol. Terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari Prima.
“Kamu sudah punya pacar?”
“Aku baru saja putus, kalau kamu?
“Aku jomblo 1 tahun.”
Sejenak Tiara berfikir maksud pertanyaan Prima. Apakah Prima tertarik dengan Dia? Apakah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kekosongan agar nggak garing? Apakah Prima hanya ingin berteman aja dengan Tiara? Kacau balau pemikiran Tiara waktu itu. Mengingat jarak 2 bulan Dia diputuskan mantannya.
Mereka pun mulai berjalan menghabiskan waktu senja. Mereka saling mengenal lebih dekat. Waktu sering mereka lewati berdua. Terkadang Tiara bertanya masa lalu kisah cinta Irfan. Irfan pun berbalik bertanya pada Tiara.
Waktu silih berganti hari-hari Tiara kini terisi dengan adanya Prima. Semakin lama mereka dekat saling mengenal. Prima pun sering meluangkan waktu untuk bermain ke rumah Tiara hanya untuk mengenal keluarganya. Selain kini Prima mengenal lebih dekat Tiara keluarga terutama Orang Tua Tiara pun dia mengenalnya. Dibalik kesederhanaan Prima saat penampilan awal ketemu Tiara, Prima menyimpan banyak pribadi kejutan. Prima adalah lelaki yang tidak pelit, jujur, dan tulus. Mengingat kekasih masa lalu Tiara yang sangat berbeda jauh dengan Prima.
Kesunyian penuh kepedihan berubah kebahagiaan. 6 bulan mereka pun semakin dekat dan Prima jujur akan perasaannya Prima ingin menjadikan Tiara sebagai calon istrinya. Tanpa ada pacaran Prima meminta Tiara bertunangan dan diperkenalkan pada orang tuanya.
Tiara pun menerima lamaran Prima dan meminta orang tua Prima datang ke rumah. Orang Tua Prima bersama keluarga datang dari Banjarmasin. Mereka berbondong-bondong menuju ke Surabaya. Akhirnya, Tiara dan Prima resmi tunangan. Kini setelah bertunangan 1 bulan kemudian, mereka menikah dan hidup berbahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kritik lirik lagu Virgon - Bukti : Septia Indah Pratiwi

Kritik lagu "Muara Kasih Bunda": Septia Indah Pratiwi

Nikmat Bulan Puasa Kakek- Septia Indah Pratiwi